Kamis, 21 Februari 2008

Bidadari-bidadari yang Turun ke Bumi

Pernah dengar cerita Jaka Tarub yang bertemu dengan tujuh bidadari cantik dari kahyangan? Walau bidadari hanya ada dalam dongeng, tapi aku menemukan bidadari-bidadari di abad ini.
Mereka adalah teman-temanku sendiri.
Yang pertama adalah teman kuliahku. Namanya Detty. Mojang bandung yang berkulit bersih, pintar, kaya, ramah, dan baik hati.
Dengan sederet anugerah yang dia miliki tersebut, wajar kan kalo aku menyebutnya sebagai bidadari?
Tentu saja bidadari Detty ini sangat populer di kampus kami. Hebatnya, nah... ini yang kukagumi dari Detty. Dia tidak pernah pilih-pilih teman. Dia bisa berteman dengan siapa saja. Bahkan dengan teman yang dijauhi oleh yang lain gara-gara punya sikap agak menyebalkan. Kalau teman lain lebih memilih menyingkir begitu si xxx ini datang, Detty justru dengan senang hati menemaninya, bahkan berboncengan ketika pulang kuliah.
Padahal, yang seringkali kutemui adalah makhluk-makhluk cantik yang populer di kampus yang sombongnya minta ampun. Hanya mau berteman dengan yang mereka anggap sederajat. Sama kayanya, sama cantiknya, dan populer juga. Barangkali, ada kebanggaan tersendiri ketika mempunyai teman yang populer.
Untungnya Detty tidak. Sepertinya, semua orang adalah teman bagi Detty. Tidak ada klasifikasi apa pun untuk bisa jadi teman Detty.
Seperti mojang Bandung pada umumnya, Detty mempunyai kulit yang bersih. Pokoknya sudah top deh. Makanya aku sangat khawatir ketika dia bilang padaku bahwa dia akan ikut perawatan kulit di salah satu dokter kulit ternama. Yang membuat aku khawatir, sudah diketahui oleh umum kalau dokter ini menggunakan produk yang mengandung merkuri. Wah, aku nggak rela kulit Detty yang bagus itu menjadi tercemar.
"Kenapa sih Det kamu mau ke dokter itu? Kulitmu kan sudah bagus banget," protesku.
"Soalnya aku ingin seperti Anne. Kulitnya jadi licin setelah ke dokter itu. Lagipula, ada jerawat nih di dekat hidungku. Coba lihat!"
Dengan cermat kuamati wajahnya. Gak ada jerawat sama sekali.
"Mana? Gak ada kok?"
"Ini lho, kecil. Tapi ini jerawat."
"Walah Det. Gak keliatan kok. Pakai aja obat jerawat biasa, nanti juga hilang."
Wajahku yang bertekstur oleh jerawat aja gak pernah kupedulikan. Hehe...

Bidadari yang lain adalah Esther. Ini teman kerjaku. Anugerah yang dimiliki oleh Detty juga dimiliki oleh Esther. Persis. Dan yang kutahu, bidadari Esther ini lemah lembut dan tidak pernah marah. Sampai-sampai Egi mengoloknya, "Ayo, lepas topengmu. Masak sih kamu sesempurna itu gak pernah marah."
Hehe..., tapi aku yakin bahkan kalau marah pun wajahnya tetap cantik.
Esther tahu gak ya kalau banyak cowok di kantor kami mengidolakan dirinya? Cowok-cowok ini dengan penuh semangat menceritakan kehebatan bidadari Esther. Sampai-sampai, mereka yang ada di daerah menanti-nantikan kedatangan Esther.
Benar-benar bak Jaka Tarub melihat bidadari turun ke bumi!

v.a

Ayo, Pulang ke Kandang!

Yang ini juga gambar yang kubuat tanpa sengaja. Kasusnya persis dengan gambar si Kupu-kupu.
Alat gambar yang dipakai:
  • Pensil warna
  • Krayon
  • Pena gambar
  • Bentuk si Induk Ayam ini diinspirasi oleh ilustrasi karya Pat Hutchins.

    Kalau gambar anak-anak ayam sih cuma bulatan aja. Gambar rumpun bunga itu favoritku sejak SD. Kalau diminta gambar tumbuhan, model begitu deh yang kupakai. Gampang, sih! He...

    Jadi, maklum ya kalau gambarku kekanak-kanakan.

    v.a

    Selasa, 19 Februari 2008

    Si Kupu-Kupu

    Gambar kupu-kupu mungil ini kubuat dengan tanpa sengaja. Gara-gara penata lay out buku yang sedang kukerjakan menyarankan untuk memperbaiki gambar kupu-kupu yang sebenarnya sudah dibuat oleh anak-anak. Katanya gambar kupu-kupu mereka kurang jelas untuk dijadikan ilustrasi buku. Jadi, ya kubuatlah gambar ini. Menarik, nggak sih? hehe...

    Senin, 18 Februari 2008

    Saya Cinta Bahasa Indonesia

    Sekarang ini, rasanya mudah sekali mendengar istilah-istilah asing-umumnya berbahasa Inggris-yang diucapkan oleh orang-orang di sekitar kita, atau bahkan oleh kita sendiri yang adalah asli orang Indonesia. Bahkan, mungkin ada yang merasa lebih intelek kalau berbicara dengan bahasa Inggris. Padahal lawan bicaranya juga orang Indonesia.

    Saya memang tidak termasuk orang yang merasa intelek kalau berbicara dengan bahasa Inggris. Bukan karena saya rendah hati dan tidak mau pamer, tapi karena saya memang tidak bisa berbahasa Inggris ;) Jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia saya saja masih parah. Baru-baru ini, saya makin menyadari kalau kemampuan berbahasa Indonesia saya harus ditingkatkan. Saya mencoba menulis cerita dan teman kantor saya yang ahli bahasa Indonesia memberikan koreksi. Kertas lembaran hasil print out (nah, kan. Saya juga ikut-ikutan pakai istilah asing) penuh dengan coretan bertinta merah hasil koreksi beliau. Ternyata, menggunakan tanda baca koma saja saya tidak becus. Belum lagi penulisan kata dan susunan kalimat.

    Benar, bahasa Inggris adalah bahasa internasional sehingga alangkah baiknya juga kita pelajari. Tapi bukan berarti lalu melupakan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, yang menjadi identitas bangsa kita. Sesungguhnya, bahasa Indonesia sangat kaya dengan ungkapan dan istilah yang menarik. Saya sering terkagum-kagum dengan para penulis yang mampu merangkai kata dengan bahasa Indonesia sehingga menghasilkan rangkaian kata dan kalimat yang indah. Saya merasakan sensasi tersendiri ketika membacanya.

    Saya selalu mengingatkan diri saya. Kalau nanti saya pintar berbahasa asing, saya harus tetap bangga dengan bahasa Indonesia. Ada 2 orang yang bisa menjadi contoh bagi saya.
    Pertama, sahabat saya sejak SMP yang sekarang tinggal di Arkansas, Texas nun jauh di benua Amerika. Selama dia tinggal di Amerika, saya baru bertemu dia sekali. Ketika kami bertemu, tidak pernah dia sok berbicara dalam bahasa Inggris. Mamanya sempat curhat kepada saya, ”Vit, jangan-jangan Vivi sebenarnya tidak bisa berbahasa Inggris, ya. Kok Tante belum pernah dengar dia bicara bahasa Inggris selama di rumah.” Saya berusaha menenangkan kegundahannya, ”Tentu saja Vivi bisa berbahasa Inggris. Dia kan sudah lulus master dan bahkan bekerja di sana. Vivi tidak pernah menggunakan bahasa Inggris selama di rumah karena memang tidak perlu. Di rumah kan dia ketemu dengan Tante dan Om, juga dengan Mbak-mbak yang bantu di rumah. Apa malah tidak bingung nanti kalau Vivi bicara pakai bahasa Inggris?” Tante terkekeh. ”Iya juga ya, Vit.” Selang beberapa hari, Tante lapor kepada saya, ”Wah, Vit. Betul. Ternyata Vivi bisa berbahasa Inggris. Tadi ada temannya dari Amerika telepon. Vivi bicara pakai bahasa Inggris. Aku nggak ngerti mereka sedang ngomong apa. Tapi Vivi bicaranya lancar sekali. Cas cis cus.”
    Contoh saya yang kedua adalah sahabat Ibu saya. Sahabat Ibu saya sudah 40 tahun tinggal dan bekerja di Darwin, Australia. Kalau beliau pulang ke Indonesia, selalu menyempatkan reuni dengan Ibu. Ketika beliau datang ke rumah saya dan bertemu dengan nenek saya, beliau berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil. Itu adalah bahasa Jawa halus dengan tingkatan tinggi. Kalau berbicara dengan Ibu saya, beliau menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa Jawa untuk orang kebanyakan). Dengan kami, beliau lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Ternyata, walaupun separuh lebih dari usianya dihabiskan di negeri asing, tidak mengubah dirinya menjadi orang asing. Padahal, kalau misalnya beliau mau berlagak lupa bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, orang akan mudah memaklumi. Tukang kebunnya di Darwin saja adalah orang Inggris asli!

    Makanya, geli juga ketika mendengar cerita Ary, teman kuliah saya. Suatu ketika di Jakarta, Ary bertemu dengan Yanti, teman kuliah kami. Sama-sama orang Jogja, mereka terbiasa bicara dengan bahasa Jawa semasa kuliah dulu. Makanya Ary kaget ketika tiba-tiba Yanti menyapa, ”Eh, lama juga gue nggak ketemu lu.” Spontan Ary tertawa geli mendengar sapaan itu. ”Woalah Yan...Yan..., sama-sama orang Jogja aja pakai lu dan gue.” Sambil agak malu, Yanti bilang, ”Habis kalau gak gitu ntar dibilang ndeso.”

    Sejujurnya, saya malah lebih nyaman kalau berbicara dengan bahasa Jawa, bahasa ibu saya. Selama bekerja dan tinggal di Jakarta, saya tidak pernah menutup-nutupi gaya bicara saya yang medhok Jawa hanya karena malu dibilang ndeso. Saya juga masih spontan menyelipkan ungkapan-ungkapan khas Jawa, seperti: je, dhing, dan lain-lain. Pak Untung, Satpam di kantor saya sampai bilang begini,”Mbak Vita, kalau bicara jangan medhok begitu. Sekarang kan sudah bekerja di Jakarta.” Dengan bercanda saya jawab,”Lho, Pak. Saya ini malah mau menjawakan Jakarta je.”

    v.a

    Kamis, 14 Februari 2008

    Nenekku menyensor KOMPAS

    Nenekku-aku memanggil beliau dengan sebutan Budhe- sudah berusia 84 tahun. Tapi jangan salah, beliau masih segar bugar dan tidak pikun. Rahasianya, beliau selalu rajin ikut senam pagi manula di Alun-alun Selatan, memanfaatkan ramuan-ramuan alami tradisional, dan rajin membaca. Kalau beliau tidak bisa berangkat senam karena sedang tidak enak badan, beliau bersenam ria sambil tiduran. Kakakku yang tidur di ranjang Budhe untuk menemani, pagi-pagi sekali terbangun karena merasa ranjang bergetar. Eh, ternyata Budhe sedang menggerak-gerakkan tangannya meniru gerakan senam jantung sehat. Untuk urusan kecantikan, Budhe juga masih mengandalkan ramuan tradisional. Contohnya keramas. Budhe menggunakan merang padi yang dibakar, direndam air, dan didiamkan semalam. Aku senang mendengar suara ”cesss...” ketika merang yang masih bernyala itu dimasukkan ke dalam air. Setelah keramas, Budhe menggunakan pengering rambut tradisional berupa tungku tanah liat kecil yang diberi bara api dari arang dan ditaburi ratus (semacam kemenyan yang wangi). Sarapan pagi Budhe selain bubur beras adalah harian KOMPAS. Di rumah kami, Budhelah yang pertama kali membaca KOMPAS. Yang lain akan membaca setelah pulang dari bekerja. Kalau ada halaman KOMPAS yang hilang, pasti beliau tahu. ”Mana ini ya lembaran bisnis-nya?” Padahal, aku saja tidak hapal. Hehehe...
    Suatu ketika, kami agak heboh. Ketika membaca KOMPAS, di halaman depan yang memberitakan bayi kembar siam pada bagian fotonya ditutup dengan kertas putih. Foto tersebut jadi tidak kelihatan sama sekali. Kalaupun kertas putih penutupnya dilepas, gambarnya pasti sobek karena lemnya sangat kuat.
    Adikku semula menduga, kami diberi koran bekas oleh loper koran kami. Tapi setelah dilihat tanggalnya, benar kok ini koran baru. Lalu, kenapa ada tempelan kertas begitu? Siapa yang iseng melakukannya dan untuk apa? Selidik punya selidik, ternyata Budhe-lah pelakunya. Beliau sengaja menutup gambar itu supaya kakakku yang sedang hamil sebulan tidak melihatnya. Katanya, Budhe takut kalau nanti kakakku jadi kepikiran dan anak yang dikandungnya jadi kebar siam.
    Wah...wah... ternyata menurut Budhe, KOMPAS perlu disensor terlebih dulu supaya layak dibaca oleh anggota keluarga kami.

    Wow! Zuper! Zuper! Baguuuuuuusssss......!

    Salah satu direktur kami adalah wanita muda, cantik, cerdas, berambut pirang, tinggi besar, cekatan, berkebangsaan Canada, dan belum bisa berbahasa Indonesia. Orangnya sangat ekspresif. Dia selalu memberikan pujian pada orang-orang di sekelilingnya yang melakukan pekerjaan dengan baik.
    Suatu ketika, sebelum pergi ke Aceh dia minta tolong pada Mbak Sulis, sekretarisnya, supaya memasang whiteboard di ruangannya. Sepulang dari Aceh, whiteboard tersebut sudah terpasang dengan manis di ruangannya. Wah, dia tampak gembira sekali. Dengan ceria dia memuji Mbak Sulis, “Wow! Zuper! Zuper! I like it! Thank you!”
    Mbak Sulis cengar cengir, lalu berbisik kepadaku, “Biasa aja kaleee….”
    Dia juga memuji Mbak Sulis atas pilihan menu makan siang yang disediakan dalam Operations meeting. ”Delicious! Good choice!”
    Begitulah Bos kami. Dia tidak pelit melontarkan pujian. Dan itu membuat kami tambah semangat.
    Temanku yang bekerja di kantor kami di Aceh juga bercerita bahwa Program Officer (PO) kami yang orang Canada juga tidak pelit memuji. Ketika dia mengenakan kemeja hijau, PO kami itu memuji, ”Wah, bajumu bagus. Warnanya bagus!” Dalam hati, temanku berkata, ”Masa sih? Perasaan, biasa aja.”
    Dia juga selalu mengapresiasi hasil kerja teman-teman. Dia akan berkomentar ”Good” atau ”Excellent”.
    Lalu, dia mencoba belajar mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia. Dia bertanya kepada temanku, ”Kalau saya mau bilang ’good’ dalam bahasa Indonesia apa?”
    ”Bagus,” jawab temanku.
    ”Kalau ’excellent’?”
    ”Bagus,” jawab temanku lagi.
    Dia bingung. ”Bagaimana bisa semua diucapkan bagus? Dua kata itu kan artinya berbeda? Kalau begitu saya akan buat peraturan sendiri. Kalau saya mengucapakan ’bagus’ itu artinya ’good’. Kalau saya mengucapkan ’baguuuuuuusssss’ itu artinya ’excellent’”
    Sejak itu, ucapan ’baguuuuuuusssss’ segera menjadi sangat populer di kantor Aceh.
    Wah, jadi malu nih. Bule-bule itu begitu royal memberikan pujian, sementara rasanya kok jarang ya sesama orang Indonesia saling memberi pujian. Sepertinya, kita juga harus mulai belajar memuji. Memuji itu tidak memerlukan tenaga besar, tapi dampaknya bisa luar biasa.
    Seingatku, orang yang juga tidak pelit memberi pujian adalah Pak Tino Sidin. Beliau selalu bilang ”Bagus” untuk setiap karya kiriman dari anak-anak. Acara tersebut memang menjadi acara favoritku. Dan aku masih ingat ketika dalam salah satu tayangannya, beliau bercerita bahwa ada orang-orang yang protes kenapa semua karya tersebut selalu dibilang ’bagus’. Kata Pak Tino Sidin, beliau selalu bilang ’bagus’ karena ada maknanya, yaitu: Berkaryalah Anak-anak Gambar menggambar Untuk Seni. Kalau disingkat menjadi B-A-G-U-S alias bagus.
    Hmmm…, begitulah cara Pak Tino Sidin memotivasi anak-anak. Aku juga belajar memotivasi tetanggaku yang berumur empat tahun. Namanya Ale. Kalau main ke rumahku, dia suka sekali menggambar. Waktu itu dia bilang akan menggambar kucing. Setelah selesai menggambar, dia memamerkan kepadaku.
    “Kok kucingnya belum punya kumis, ya?” komentarku.
    “Oh iya. Lupa. Nah, ini kumisnya,” katanya sambil memperbaiki gambarnya.
    Kulihat, kumis itu berupa garis lurus yang diletakkan di antara hidung dan mulut kucing. Mirip kumis si Opa.
    Aku terbahak. “Wah, gambar Ale baguuuuuuusssss!”

    Maaf, saya salah pegang kepala Bapak...

    Di dunia ini, seringkali kita temui kemiripan-kemiripan. Misalnya, seseorang mirip dengan orang lain. Kalau kita tidak hati-hati, bisa-bisa menimbulkan rasa malu.
    Seperti yang kualami waktu kelas 2 SMP. Biasanya aku berangkat naik sepeda. Tapi karena hari itu hujan dan aku membawa banyak barang prakarya yang harus kukumpulkan, maka Bapak memboncengkan aku dengan sepeda motornya. Motor laki-laki, bukan motor bebek, sehingga sadelnya lebih luas dan aku lebih leluasa meletakkan barangku yang segambreng.
    Supaya lebih cepat, Bapak menggunakan jalan pintas yang lebarnya cuma cukup untuk masuk satu motor saja. Jalan pintas itu populer disebut sebagai gang senggol. Ternyata, tidak hanya kami yang berpikiran sama. Akhirnya malah terjadi kemacetan disitu. Bapak menyuruhku turun dan menunggu di mulut gang, karena Bapak akan memundurkan motornya supaya tidak terjebak macet di gang itu. Di mulut gang, aku menunggu Bapak sambil tentu saja membawa prakaryaku yang segambreng itu. Tiba-tiba, ada motor laki-laki persis berhenti di depanku. Tanpa dikomando, aku segera naik dan menaruh barang-barangku.
    ”Ayo, Pak kita segera berangkat!” seruku.
    Bapak diam saja. Aku ulangi lagi ajakanku, tapi Bapak masih saja diam. Sampai aku tepuk bahunya sambil melongokkan kepala melihat wajah Bapakku. Alamak! Aku terkejut sekali ketika melihat wajah pengendaranya ternyata bukan Bapakku. Dan kulihat di depan sana Bapakku memanggil-manggil sambil tertawa. ”Ayo, kesini! Kamu bonceng siapa itu?”
    Aduh, aku malu sekali telah salah naik motor. Dengan kerepotan, aku turun dari motor itu dan minta maaf tanpa melihat lagi wajah pengendaranya. Aku segera berlari menghampiri Bapakku. Sepanjang jalan menuju ke sekolah, Bapak meledekku habis-habisan. Aku hanya bisa memukuli lengan Bapak.
    Kejadian hampir mirip juga terjadi ketika suatu malam, kudengar motor Bapak masuk ke halaman. Rupanya Bapak baru pulang. Benar saja, sebentar kemudian kudengar ketukan di pintu samping, pintu yang menuju tempat menaruh kendaraan. Aku biasa usil terhadap Bapak. Maka, sambil menuju pintu aku berseru, ”Kalau tidak bawa oleh-oleh, tidak akan dibukain pintu!”
    Tiba-tiba ada suara yang menjawab, tapi bukan suara Bapak. ”Maaf, Mbak. Saya tidak bawa oleh-oleh, tapi tolong dibukakan pintu, ya. Ini saya mau mengembalikan motor Bapak yang tadi saya pinjam.”
    Aduh, ternyata Pak Marno, tetangga kami yang datang. Rupanya Bapak sedang pergi dengan menggunakan motor Ibu, sementara motor Bapak dipinjam oleh Pak Marno.
    Tapi pengalaman temanku, Mbak Susi, lebih memalukan lagi. Saat itu ada acara kantor di Surabaya namun acara belum dimulai. Mbak Susi melihat si No sedang duduk membelakanginya. Kepalanya yang agak botak mengundang hasrat Mbak Susi untuk menggodanya. Dengan mengendap-ngendap, dia memegang kepala si No. ”Halo, No. Wah, makin berkurang aja rambutmu!” Si empunya kepala menoleh. Olala, ternyata itu bukan kepala si No melainkan kepala Pak Gustav, senior dari kantor pusat!
    Dengan wajah merah padam, Mbak Susi minta maaf. ”Maaf Pak, saya kira tadi si No.”
    Pelajaran berharga. Cermati dulu, baru bertindak. Karena, serupa tapi tak sama.

    Nama saya: Ir. ABCD, SE, MM, MT, MSi

    Aku sering memperhatikan undangan-undangan pernikahan yang dikirimkan untuk orangtuaku atau untukku. Biasanya, akan terpampang nama lengkap plus sederet gelar, kalau pasangan pengantin atau orangtua mereka mempunyainya. Bahkan, ada yang nama lengkapnya lebih pendek dari deretan gelarnya.
    Aku bertanya-tanya, sebenarnya apa ya gunanya memasang deretan gelar tersebut? Untuk menambah gengsi, atau supaya namanya terlihat lebih panjang, atau adakah pengaruh dengan jumlah sumbangan? Kalau namanya bergelar panjang berderet-deret, maka jumlah sumbangan yang akan diterima semoga juga berderet-deret? Ah, rasanya kok tidak ada korelasinya.
    Ketika kantor tempatku bekerja dulu akan menyampaikan surat ke Bank Indonesia, aku diminta menanyakan nama lengkap beserta gelarnya dari pejabat yang akan dituju. Tanpa diduga, aku mendapat jawaban dari staff beliau begini, ”Oh, ditulis saja nama beliau. Tidak perlu mencantumkan gelar, karena kami di sini memang dianjurkan untuk tidak memasang gelar.”
    Wah, baru kali ini aku mendapat jawaban seperti itu. Biasanya, aku akan diberi kartu nama dengan pesan keramat: jangan salah menuliskan nama dan gelar lengkapnya, ya.
    Barangkali di BI ada prinsip: tidak perlu pasang gelar, yang penting tunjukkan prestasi dengan kerja sebaik-baiknya. Semoga memang begitu.
    Mas Lukas, putra sahabat Ibuku, yang mendapat beasiswa S2 dan S3 di London pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar PhD sebagai ahli biologi. Ketika Ibuku menerima undangan pernikahannya, hanya tercantum namanya tanpa gelar sama sekali. Padahal, PhD gitu lho!
    Vivi, sahabatku sejak SMP yang mengambil double degree Master dan tinggal di Arkansas, Texas minta tolong kepadaku untuk membuatkan undangan pernikahannya. Pernikahannya diselenggarakan di Ohio, tapi dia ingin aku yang mendesain dan membuat undangannya di Jogja. Dia mengirim email berisi teks yang harus aku cantumkan di undangan tersebut. Kubaca, disitu namanya dan suaminya ditulis apa adanya tanpa gelar sama sekali.
    Barangkali, memang demikian lazimnya di sana. Apalagi, Vivi ini memang kukenal sebagai orang yang rendah hati. Barangkali, di sana justru orang akan terheran-heran kalau melihat berderet nama dan gelar yang saling beradu menyita perhatian. Bisa-bisa, lupa nama pengantinnya, malah yang teringat gelarnya saja. Hahaha...

    v.a