Senin, 18 Februari 2008

Saya Cinta Bahasa Indonesia

Sekarang ini, rasanya mudah sekali mendengar istilah-istilah asing-umumnya berbahasa Inggris-yang diucapkan oleh orang-orang di sekitar kita, atau bahkan oleh kita sendiri yang adalah asli orang Indonesia. Bahkan, mungkin ada yang merasa lebih intelek kalau berbicara dengan bahasa Inggris. Padahal lawan bicaranya juga orang Indonesia.

Saya memang tidak termasuk orang yang merasa intelek kalau berbicara dengan bahasa Inggris. Bukan karena saya rendah hati dan tidak mau pamer, tapi karena saya memang tidak bisa berbahasa Inggris ;) Jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesia saya saja masih parah. Baru-baru ini, saya makin menyadari kalau kemampuan berbahasa Indonesia saya harus ditingkatkan. Saya mencoba menulis cerita dan teman kantor saya yang ahli bahasa Indonesia memberikan koreksi. Kertas lembaran hasil print out (nah, kan. Saya juga ikut-ikutan pakai istilah asing) penuh dengan coretan bertinta merah hasil koreksi beliau. Ternyata, menggunakan tanda baca koma saja saya tidak becus. Belum lagi penulisan kata dan susunan kalimat.

Benar, bahasa Inggris adalah bahasa internasional sehingga alangkah baiknya juga kita pelajari. Tapi bukan berarti lalu melupakan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia, yang menjadi identitas bangsa kita. Sesungguhnya, bahasa Indonesia sangat kaya dengan ungkapan dan istilah yang menarik. Saya sering terkagum-kagum dengan para penulis yang mampu merangkai kata dengan bahasa Indonesia sehingga menghasilkan rangkaian kata dan kalimat yang indah. Saya merasakan sensasi tersendiri ketika membacanya.

Saya selalu mengingatkan diri saya. Kalau nanti saya pintar berbahasa asing, saya harus tetap bangga dengan bahasa Indonesia. Ada 2 orang yang bisa menjadi contoh bagi saya.
Pertama, sahabat saya sejak SMP yang sekarang tinggal di Arkansas, Texas nun jauh di benua Amerika. Selama dia tinggal di Amerika, saya baru bertemu dia sekali. Ketika kami bertemu, tidak pernah dia sok berbicara dalam bahasa Inggris. Mamanya sempat curhat kepada saya, ”Vit, jangan-jangan Vivi sebenarnya tidak bisa berbahasa Inggris, ya. Kok Tante belum pernah dengar dia bicara bahasa Inggris selama di rumah.” Saya berusaha menenangkan kegundahannya, ”Tentu saja Vivi bisa berbahasa Inggris. Dia kan sudah lulus master dan bahkan bekerja di sana. Vivi tidak pernah menggunakan bahasa Inggris selama di rumah karena memang tidak perlu. Di rumah kan dia ketemu dengan Tante dan Om, juga dengan Mbak-mbak yang bantu di rumah. Apa malah tidak bingung nanti kalau Vivi bicara pakai bahasa Inggris?” Tante terkekeh. ”Iya juga ya, Vit.” Selang beberapa hari, Tante lapor kepada saya, ”Wah, Vit. Betul. Ternyata Vivi bisa berbahasa Inggris. Tadi ada temannya dari Amerika telepon. Vivi bicara pakai bahasa Inggris. Aku nggak ngerti mereka sedang ngomong apa. Tapi Vivi bicaranya lancar sekali. Cas cis cus.”
Contoh saya yang kedua adalah sahabat Ibu saya. Sahabat Ibu saya sudah 40 tahun tinggal dan bekerja di Darwin, Australia. Kalau beliau pulang ke Indonesia, selalu menyempatkan reuni dengan Ibu. Ketika beliau datang ke rumah saya dan bertemu dengan nenek saya, beliau berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil. Itu adalah bahasa Jawa halus dengan tingkatan tinggi. Kalau berbicara dengan Ibu saya, beliau menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa Jawa untuk orang kebanyakan). Dengan kami, beliau lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Ternyata, walaupun separuh lebih dari usianya dihabiskan di negeri asing, tidak mengubah dirinya menjadi orang asing. Padahal, kalau misalnya beliau mau berlagak lupa bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, orang akan mudah memaklumi. Tukang kebunnya di Darwin saja adalah orang Inggris asli!

Makanya, geli juga ketika mendengar cerita Ary, teman kuliah saya. Suatu ketika di Jakarta, Ary bertemu dengan Yanti, teman kuliah kami. Sama-sama orang Jogja, mereka terbiasa bicara dengan bahasa Jawa semasa kuliah dulu. Makanya Ary kaget ketika tiba-tiba Yanti menyapa, ”Eh, lama juga gue nggak ketemu lu.” Spontan Ary tertawa geli mendengar sapaan itu. ”Woalah Yan...Yan..., sama-sama orang Jogja aja pakai lu dan gue.” Sambil agak malu, Yanti bilang, ”Habis kalau gak gitu ntar dibilang ndeso.”

Sejujurnya, saya malah lebih nyaman kalau berbicara dengan bahasa Jawa, bahasa ibu saya. Selama bekerja dan tinggal di Jakarta, saya tidak pernah menutup-nutupi gaya bicara saya yang medhok Jawa hanya karena malu dibilang ndeso. Saya juga masih spontan menyelipkan ungkapan-ungkapan khas Jawa, seperti: je, dhing, dan lain-lain. Pak Untung, Satpam di kantor saya sampai bilang begini,”Mbak Vita, kalau bicara jangan medhok begitu. Sekarang kan sudah bekerja di Jakarta.” Dengan bercanda saya jawab,”Lho, Pak. Saya ini malah mau menjawakan Jakarta je.”

v.a

Tidak ada komentar: