Kamis, 14 Februari 2008

Maaf, saya salah pegang kepala Bapak...

Di dunia ini, seringkali kita temui kemiripan-kemiripan. Misalnya, seseorang mirip dengan orang lain. Kalau kita tidak hati-hati, bisa-bisa menimbulkan rasa malu.
Seperti yang kualami waktu kelas 2 SMP. Biasanya aku berangkat naik sepeda. Tapi karena hari itu hujan dan aku membawa banyak barang prakarya yang harus kukumpulkan, maka Bapak memboncengkan aku dengan sepeda motornya. Motor laki-laki, bukan motor bebek, sehingga sadelnya lebih luas dan aku lebih leluasa meletakkan barangku yang segambreng.
Supaya lebih cepat, Bapak menggunakan jalan pintas yang lebarnya cuma cukup untuk masuk satu motor saja. Jalan pintas itu populer disebut sebagai gang senggol. Ternyata, tidak hanya kami yang berpikiran sama. Akhirnya malah terjadi kemacetan disitu. Bapak menyuruhku turun dan menunggu di mulut gang, karena Bapak akan memundurkan motornya supaya tidak terjebak macet di gang itu. Di mulut gang, aku menunggu Bapak sambil tentu saja membawa prakaryaku yang segambreng itu. Tiba-tiba, ada motor laki-laki persis berhenti di depanku. Tanpa dikomando, aku segera naik dan menaruh barang-barangku.
”Ayo, Pak kita segera berangkat!” seruku.
Bapak diam saja. Aku ulangi lagi ajakanku, tapi Bapak masih saja diam. Sampai aku tepuk bahunya sambil melongokkan kepala melihat wajah Bapakku. Alamak! Aku terkejut sekali ketika melihat wajah pengendaranya ternyata bukan Bapakku. Dan kulihat di depan sana Bapakku memanggil-manggil sambil tertawa. ”Ayo, kesini! Kamu bonceng siapa itu?”
Aduh, aku malu sekali telah salah naik motor. Dengan kerepotan, aku turun dari motor itu dan minta maaf tanpa melihat lagi wajah pengendaranya. Aku segera berlari menghampiri Bapakku. Sepanjang jalan menuju ke sekolah, Bapak meledekku habis-habisan. Aku hanya bisa memukuli lengan Bapak.
Kejadian hampir mirip juga terjadi ketika suatu malam, kudengar motor Bapak masuk ke halaman. Rupanya Bapak baru pulang. Benar saja, sebentar kemudian kudengar ketukan di pintu samping, pintu yang menuju tempat menaruh kendaraan. Aku biasa usil terhadap Bapak. Maka, sambil menuju pintu aku berseru, ”Kalau tidak bawa oleh-oleh, tidak akan dibukain pintu!”
Tiba-tiba ada suara yang menjawab, tapi bukan suara Bapak. ”Maaf, Mbak. Saya tidak bawa oleh-oleh, tapi tolong dibukakan pintu, ya. Ini saya mau mengembalikan motor Bapak yang tadi saya pinjam.”
Aduh, ternyata Pak Marno, tetangga kami yang datang. Rupanya Bapak sedang pergi dengan menggunakan motor Ibu, sementara motor Bapak dipinjam oleh Pak Marno.
Tapi pengalaman temanku, Mbak Susi, lebih memalukan lagi. Saat itu ada acara kantor di Surabaya namun acara belum dimulai. Mbak Susi melihat si No sedang duduk membelakanginya. Kepalanya yang agak botak mengundang hasrat Mbak Susi untuk menggodanya. Dengan mengendap-ngendap, dia memegang kepala si No. ”Halo, No. Wah, makin berkurang aja rambutmu!” Si empunya kepala menoleh. Olala, ternyata itu bukan kepala si No melainkan kepala Pak Gustav, senior dari kantor pusat!
Dengan wajah merah padam, Mbak Susi minta maaf. ”Maaf Pak, saya kira tadi si No.”
Pelajaran berharga. Cermati dulu, baru bertindak. Karena, serupa tapi tak sama.

Tidak ada komentar: